Bapak H. Sanusi (Babe Uci) Guru Besar Pencak Silat Pusaka Djakarta
Lambang
Usia terus bertambah, tetapi postur pria bernama H Sanusi itu tetap tegak dan penampilannya jauh lebih muda ketimbang umurnya, 83 tahun. Pendekar Silat asal Sawah Besar, Jakarta, ini tetap aktif, tak punya penyakit serius, dan tidak berpantang makan apa pun. Bahkan, beragam keluhan yang sering menimpa warga senior, seperti kolestrol tinggi, hipertensi, asam urat,, dan gula darah tinggi, pun jauh dari dirinya. Dia tak punya pantangan makan apa pun.
“Sejak muda, saya hanya makan sekali sehari. Saya hanya makan siang sekitar pukul 14.00,” kata pria yang akrab dipanggil Babe Uci ini dirumahnya di Manggarai Selatan, Jakarta Selatan.
Hanya ketika sangat lapar dan harus pergi dia makan dua keeping biscuit sebagai pengganjal perut. Kebiasaan itu bermula ketika Babe Uci tinggal di pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, saat usianya 15 tahun. Disan, para santri membiasakan diri makan secukupnya dan seadanya. Mereka tak pernah berlebihan dan selalu makan bersama. Menurut Sang guru, makan banyak akan menutupi hati.
“Betul ajaran beliau, banyak makan bukan hanya membuat hati tertutup lemak, melainkan juga membuat orang menjadi tamak, serakah, dan rela berbuat apa saja demi memuaskan nafsu” kata Babe Uci. Dia mampu mendisiplinkan diri karena berlatih pencak silat sejak usia 12 tahun di Sawab Besar, Jakara.
Anak pertama dari enam bersaudara ini ungat, sang guru silat tak sembarangan mekatih dan tak semua anak terpilih ikut latihan. Hanya mereka yang rajin shalat dan mengaji yang boleh ikut berlatih. Dulu, mereka biasa berlatih setelah shalat isya dan mengaji. Mereka berlatih dari pukul 20.00 hingga dini hari dibimbing sang pelatih, Mursadi bin Ramidun.
“Pukul 02.00, kami baru selesai berlatih dan pulang sembari membawa obor sebagai penerang jalan,” kata Babe Uci.
Ia mengenang, kala itu kawasan Sawah Besar berupa kampong dengan kebun penu pepohonan dan tanpa listrik. Dia menjelaskan, mereka yang belajar pencak silat harus harus rajin shalat dan mengaji karena harus pandai meredam keinginan berkelahi yang sering timbul ketika orang belajar bela diri. Sebagai pesilat, mereka harus lebih pandai menahan diri karena bisa silat bukan untuk pamer diri. Sang guru jua sering membawa Uci kecil berkeliling ke perguruan silat disejumlah daerah. Tidak hanya menyambangi kampung-kampung di seputar Jakarta, seperti Kwitang, Rawa Belong, Menteng Dalam, dan Pasar Minggu, tetapi mereka juga ke kota lain seperti Bekasi, Bogor, dan Garut.
Selain mempelajari aliran gerak silat lain, tujuan berkeliling juga untuk menjaga dan menjalin silaturahmi dengan para guru lain. Hal yang istimewa, diJakarta, setiap kampung memiliki aliran silat sendiri. Tak kurang dari 300 aliran silat dikenal dari Jakarta. Babe Uci menguasai tujuh aliran.
“Saya tak tahu mengapa begitu banyak aliran (silat) di Jakarta. Begitulah adanya. Perbedaan aliran ini terlihat jelas dalam pertarungan karena setiap aliran punya gaya dan gerak berbeda,” ujar dia.
Menjadi Guru Karier mengajar Babe Uci berawal di pesantren. Saat itu, dia berusia 17 tahun atau dua tahun setelah mulai menuntut ilmu ditempat tersebut. dia prihatin melihat banyak kawan yang bengong kala senggang dan tak punya kegiatan lain setelah pelajaran usai dan semua kewajiban dilaksanakan. Dia lalu menawarkan diri mengajar silat dan senua temannya antusias. Kegiatan mengajar silatitu dia lakukan tanpa sepengetahuan guru dipesantren. Mereka diam-diam berlatih pada malam hari.
“Ketika kami lulus, tak hanya ilmuagama yang kami dapat. Kami semua pandai silat dan guru-guru pun ingung dari mana kami belajar silat dan kapan menekuninya. Saya diam saja, tak membocorkan rahasiabersama” kata Babe Uci yang menuntut ilmu di pesantran selama 10 tahun. Babe Uci mendirikan perguruan Silat Pusaka Djakarta yang beraliran gerak cepat pada 1957.
Tujuan mendirikan dan melestarikan silat Betawi. Kepada para murid yang piawai, dia membolehkan mereka mengajar kan ilmu silat kepada orang lain. Tahun 1969, Babe Uci mendapat tawaran sebagai kereografer film silat Djampang Mentjari Naga Hitam. Film itu dibintang, antara lain, Sukarno M Noor, WD Mochtar, Moch Mochtar, HIM Damsyik, Wolly Sutinah, dan Nani Widjaja. “Film ini laris, meledak. Ada bioskop yang pintunya sampai runtuh karena penonton terus berdatangan,” cerita Babe Uci.
Film Laga Kesuksesan fil itu membuka pasar film laga berbasis silat. Bahkan, karena proses akhir film itu bertempat di Hongkong, para pembuat film dinegeri itupun tertarik membuat film laga dengan aksi ilmu bela diri. “ketika itu, sineas Hongkong masih sibuk membuat film tentang kerajaan kuno. Tak ada yang bergenre film laga seperti sekarang.“ujar dia tentang film yang pengambilan gambarna bertempat diSukabumi, Jawa Barat, itu.
Babe Uci bangga dengan kesuksesan Djanpang Mentjari Naga Hitam. Namun, dia prihatin karena Hongkong yang semula meniru langkah Indonesia membuat film laga malah lebih terkenal sebagai salah satu negeri produsen film laga. Meski dia yang mendapat tawaran menjadi koreografer silat di film, Babe Uci tak pernah kerja sendiri. Dia mengajak para guru silat andal yang lain ikut merancang gerakan adegan perkelahian. Bersama-sama mereka menyusun, menilai, dan memilih gerakan untuk film. Sejak film itu, Babe Uci pun terlibat dalam sejumlah film laga lain, diantaranya Sipitung 1 hingga Si Pitung 4, Si Bonhkok, Laki-laki Pilihan, Panji Tengkorak,Selimut Malam, Sangkuriang, Tangkuban perahu, dan Nyai Dasimah. Total ada 28 film. Meski demikian, Babe Uci hingga kini enggan terlibat dalam sinetron laga. Alasan dia, waktu pembuatan sinetron amat singkat ketimbang film layar lebar. Dia merasa tak cukup waktu merancang adegan aksi. Puluhan tahun berkecimpung didunia silat dan merancang aksi laga pada banyak film, Babe Uci tetap menjadi pribadi yang rentah hati dan sederhana. Dia tetap belajar silat dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Namun, dia sedih karena tak satupun dari 9 anaknya (2 lelaki, 7 perempuan), 35 cucu, dan 2 cicitnya mau serius menekuni silat. “mereka lebih suka olah raga lain,seperti bola basket atau sepak bola,” kata anak pasangan Suraji dan Ariyeh ini. Satu harapan Babe Uci, naskahnya tentang pendekar silat dari Ngarai Sianok dapat difilmkan. “film itu memadukan silat gaya Sumatra, Jawa, Bali, dan Madura,” ujar dia.
H. SANUSI
Lahir : Jakarta, 4 September 1931
Istri : Nani Pendidikan :
Pesantren di Tasikmalaya selama 10 tahun
Pencapaian :
:> Mendirikan dan mengelola perguruan Silat Pusaka Djakarta, 1957-kini
:> Film pertama “Djampang Mentjari Naga Hitam”,1969
:> Terlibat dalam pembuatan 28 film
:> Memperoleh penghargaan, antara lain Anugrah Budaya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,2013
Cabang Tempat Latihan
Manggarai(Pusat)
Rasamala
Pulo
Kalibata
DurenTiga
Dll.
Alamat Grup Facebook
https://www.facebook.com/groups/53223211104/